Google
 

Masa Lalu – Masa Lupa | 10 - 7

10 Agustus–7 September 2007
Enam seniman Indonesia menginterpretasikan sejarah Indonesia, 1930 - 1960

Erasmus Huis
Jl. HR Rasuna Said Kav. S-3
T 524 1069

Perjuangan untuk menegakkan sejarah, meminjam metafora senada dari Milan Kundera, adalah perjuangan untuk melawan lupa.

Pasca lengsernya kekuasaan Orde Baru 1998, wacana tentang “pelurusan” sejarah menjadi sesuatu yang dirasakan penting bagi masyarakat luas. Selama lebih dari 32 tahun, teks-teks sejarah telah digunakan oleh rezim penguasa untuk mengukuhkan kekuasaannya: memberi jalan untuk menunjuk siapa yang benar dan siapa yang salah, siapa yang berjasa siapa yang tidak, dan terutama, menunjuk siapa kawan siapa lawan.

Belakangan, berbagai usaha dilakukan oleh kelompok-kelompok sipil untuk mengurai kembali fakta sejarah yang telah sekian lama simpang siur dan mengungkap fakta yang selama ini terpendam kepada masyarakat awam. Di kalangan masyarakat seni, pendekatan yang kritis terhadap sejarah telah menjadi wacana yang populer, baik sebagai basis penciptaan karya maupun sebagai gagasan. Para seniman mempertanyakan kembali kepercayaan kita terhadap apa yang selama ini ditunjuk sejarah sebagai kebenaran. Pendekatannya seringkali subversif dan cara presentasinya yang menekankan pada daya tarik visual.

Cemeti Art House menginisiasi sebuah proyek panjang (pada periode Mei – Oktober 2006) yang bertujuan untuk membaca kembali fakta sejarah, dengan tajuk proyek “Masa Lalu Masa Lupa”. Kami menerapkan beragam gagasan kurasi yang berusaha mempertemukan seniman dari generasi yang berbeda-beda. Hasil-hasil penelitian dalam proyek “Indonesia across Orders: The Reorganization of Indonesian Society, 1930-1960” ini menjadi peluang untuk mengintegrasikan kembali kerja kreatif dengan dunia akademik.

Ada enam seniman yang terlibat pameran ini. Mereka adalah empat seniman dari Yogyakarta yaitu Agus Suwage, Eko Nugroho, Wimo Ambala Bayang dan Yuli Prayitno, satu seniman dari Bandung yaitu Prilla Tania, dan satu seniman Jakarta yaitu Irwan Ahmett. Setiap seniman memilih satu judul di antara tiga belas judul dari Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Pameran ini merepresentasikan cara pandang yang beragam tentang pergulatan untuk “Menjadi Indonesia” pada periode 1930 – 1960. Kisah-kisah personal berbaur dengan fakta-fakta formal untuk menunjukkan bagaimana situasi kolonial menjadi bagian besar dalam usaha membentuk identitas Indonesia tersebut. Melalui bentuk-bentuk visual yang dihasilkan para seniman, kita belajar lagi untuk mengingat dan merefleksikan masa lalu, dan bersama-sama, melawan lupa.

0 comments: